
Ketika Iman Mengalahkan Logika: Pelajaran Hidup dari Ibrahim dan Hajar
Dalam sejarah manusia, sedikit kisah yang sekuat dan seteguh kisah keluarga Nabi Ibrahim AS. Ketika logika manusia berkata "tidak mungkin", iman mereka justru berkata "taat". Puncaknya adalah saat Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkan istrinya, Hajar, dan bayi mereka, Ismail, di tengah padang pasir yang tandus dan tak berpenghuni. Perintah itu tidak datang dengan penjelasan rinci, hanya datang sebagai perintah dari langit—dan dijalankan tanpa tunda.
Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an, dalam doa Nabi Ibrahim: رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki tanaman…” (QS. Ibrahim: 37).
Ayat ini menjadi bukti bahwa penempatan Hajar dan Ismail di Makkah bukan keputusan emosional, melainkan murni atas perintah Allah SWT. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa doa ini adalah bentuk keyakinan total Nabi Ibrahim bahwa Allah akan menjaga mereka dengan cara-Nya sendiri.
Sementara itu, Hajar pun menunjukkan keimanan luar biasa. Saat ia bertanya, “Apakah ini perintah Allah?” dan Ibrahim hanya mengangguk, ia menjawab, “Kalau begitu, Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.” Kalimat ini bukan sekadar pasrah, tetapi ekspresi iman yang aktif. Dalam Tafsir Ibn Katsir, disebutkan bahwa Hajar dengan sabar mencari air dari bukit Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali yang kemudian menjadi rukun dalam ibadah haji tindakan itu lahir dari keimanan, bukan kepanikan.
Pelajaran besar dari kisah ini adalah bahwa iman kadang menuntut kita berjalan tanpa peta, dan yakin meski tidak melihat jalan. Nabi Ibrahim juga diuji dengan perintah menyembelih anaknya sendiri, Ismail. قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰ “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu…” (QS. Ash-Shaffat: 102). Ismail menjawab dengan kalimat yang menggetarkan hati: قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan…” Ayat ini menunjukkan keduanya sama-sama tunduk pada perintah, walau bertentangan dengan naluri manusiawi.
Iman yang hidup tidak sekadar diucapkan, tetapi diuji dan dibuktikan dalam tindakan. Itulah pelajaran dari Ibrahim dan Hajar. Mereka mengajarkan kita bahwa ketika akal manusia mentok, iman tetap melangkah. Ketundukan mereka kepada Allah melahirkan sejarah besar: dari air zamzam, kota Makkah, hingga ibadah haji yang dijalani jutaan orang hingga kini.
Maka, Idul Adha bukan hanya hari kurban. Ia adalah momen untuk bertanya: sampai sejauh mana kita berani taat, walau logika tak sepenuhnya mengerti? Iman yang sejati bukan menunggu semua jelas, tetapi berani melangkah karena yakin bahwa Allah SWT tak pernah salah. (FA.Khatib Saidi Rajo - 09 Dzulhijjah 1446 H)
0 Komentar